Rabu, 22 Juli 2009

Over Confidence

Awal perkenalan gw dengan Jovan, adalah empat tahun yang lalu lewat chatting. Jovan adalah seorang mahasiswa jurusan tekhnik, tingkat akhir salah satu PTS di Surabaya. Hampir satu tahun gw dan Jovan berteman tanpa saling ketemu dan tanpa saling tahu tampang masing-masing, karena kami ga pernah tukeran pic. Hubungan kami hanya lewat telepon dan internet saja.

Dia sering curhat dan bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di Surabaya. Sebetulnya Jovan adalah tipe orang yang menyenangkan dan enak untuk diajak ngomong (even sering over confidence sih). Dia sering ngomong, kalo di Surabaya dia “laku keras”. Hmmmmmhhh… ga salah dong, kalo gw berkesimpulan dia itu pasti cakep, coz dia juga pernah cerita kalo dia pernah ikutan ajang pemilihan Cak dan Ning (semacam kontes pemilihan Abang dan None / Mojang dan Jajaka, versi Jawa Timur).

Suatu hari dia telpon:
“Farrel lagi apa?” tanyanya, di seberang sana.
“Lagi ada kerjaan.” Jawab gw
“Tau ga, sekarang aku lagi dimana?” lanjutnya.
“Hmmmmhhhh… ga tau. Emang kamu dimana gitu?” sahut gw.
“Aku di Bandung lho!!!” katanya, bersemangat.
“O ya?” Gila aja, masa ke Bandung tanpa rencana kaya gitu? Kata gw dalam hati.

Berikutnya kami pun larut dalama obrolan dan berjanji untuk ketemuan di BIP tar sore.
Gw sudah sampai di BIP , sekitar jam 18.00. Gw telepon Jovan dan nampak dari kejauhan ada seorang pemuda yang datang menghampiri gw. Sangat diluar dugaan!!!

Ternyata, dia sama sekali ga cakep… hmmmmhhhh malah cenderung buruk rupa he he he…Kesimpulan gw tentang fisik Jovan adalah: Item, bibir tebal, jidat jenong, rambut kriwil, gigi agak tonggos (mulutnya ga bisa mingkem he he he…), hidung lebar, dan wajahnya dipenuhi oleh bopeng bekas jerawat, plus jerawat-jerawat baru sebesar biji-biji jagung yang masih bertebaran… weeekkkksss!!! Sungguh jauh diluar prediksi gw!!!! Ha ha ha…

Sebagai tuan rumah yang baik, gw mengajak dia jalan-jalan keliling Bandung. Dia bilang kalo gay Bandung tuh cakep-cakep (ya eya lah!!! Apalagi kalo dibandingin sama loe!!! ha ha ha…).
Kesimpulannya, hari itu gw jadi guide dadakan nemenin Jovan menelusuri Kota Bandung.

Di sebuah foodcourt, waktu gw dan Jovan lagi makan. Tercetuslah obrolan:
“Farrel, menurut kamu siapa cowok paling cakep di Indonesia?” tanyanya.
“Siapa ya? banyaklah…” jawab gw.
“Salah satunya?” dia penasaran.
“Marcelinno Lefrandt, kali.” Sahut gw, asal sebut.
“Hmmmhhh… kalo dikasih score, ketampanan dia dapat nilai berapa?” lanjutnya.
“8,5 lah.” jawab gw.
“Hmmmmhhhh…. Menurut kamu, kalo dia nilainya 8,5… aku nilainya berapa?” Anjritt!!! Males banget gw ngejawabnya!!! Gw ga tega ngejawabnya. Tampangnya terlalu ancur buat gw nilai he he he…
Gw hanya terdiam, sambil senyum aja.
“Berapa?” Jovan penasaran.
“Ya ga bisa dibandinginlah…dia kan artis…” Gw bermuslihat.
“Iya, tapi tetep bisa kasih nilai kan?” Jovan mendesak.
“Kamu mau jawaban yang jujur atau…..” kalimat gw menggantung.
“Yang jujurlah!” Sahutnya, mantap. Dia terlihat sangat percaya diri.
“Ehhmmmm… 4.” Jawab gw, dengan dingin.

Sesaat tampangnya pucat pasi. Dia terlihat sangat shock dengan jawaban gw. Dia menggigit bibirnya, tapi dia tampak berusaha tegar.
“Masa sih nilai aku segitu rendahnya?” Jovan, terlihat rontok kepercayaan dirinya.
“Kan kamu yang nyuruh aku menjawab jujur…” Gw ga mau meralat jawaban gw. Sejujurnya, nilai dia yang sebenernya jauh lebih rendah dari itu ha ha ha….
Jawaban gw meluluhlantakan sifat over confidence dia.

Malam itu gw mengantarkan dia ke tempat dia menginap. Sampailah akhir pertemuan gw dan Jovan. Sebelum berpisah, dia nanya:
“Kita kan udah saling ketemu neh… Sekarang aku mau nanya. Kamu mau ga, ada kontak fisik sama aku?” tanyanya.
“Hmmmhhhh… maksud kamu ML?” gw balik nanya.
“Iya.” Sahutnya, sambil mengangguk.
“Ga!!! jawab gw mantap, sambil menggelengkan kepala. singkat, padat dan lugas.
O my God!!! Kok ada ya orang kaya gitu? Super pede, over confidence!!! Weeeekkkkss!!!

Conclusions:
Percaya diri itu memang bagus, tapi kalo sudah berlebihan dan ga sesuai dengan kualitas diri, bisa bikin mual orang yang ngedengernya. Mendingan ke laut aja dech main sama ubur-ubur he he he…

Sabtu, 18 Juli 2009

Shoulders To Cry On

Someday… and somewhere… Tepatnya di sebuah warnet, di Jalan Lengkong, Bandung. Gw lagi checkmail dan download beberapa file yang gw perlukan. Sambil nunggu selesai download, gw iseng chatting. Dan ketemulah gw dengan seseorang, namanya Rio. Dari awal Rio mendesak gw, ngajak ketemuan.

Biasanya makin orang mendesak ngajak ketemuan, gw makin males, coz orang-orang yg sangat bernafsu ngajak ketemuan, biasanya secara kualitas pasti dibawah standar he he he… Lagian dia ga pasang pic. Jadi gw bisa tau dia cakep atau ga-nya dari mana? Apalagi Rio umurnya udah diatas 26 tahun, hmmhhh gw jadi makin males dech (ups!!! ketahuan dech gw penggemar brondong he he he…). Secara ngobrolnya sih cukup nyambung dan keliatan banget kalo dia orangnya smart.

Butuh waktu yang cukup panjang, buat gw memutuskan untuk menemui Rio. Yup, hampir 3 jam gw chat sama dia. Berikut ini sedikit cuplikan chatting antara gw dengan Rio
Rio: “Aku lagi butuh seseorang…”
Gw: “Tapi aku ga bisa…”. Pikiran gw udah ngeres dech he he he…
Rio: “Bukan buat itu kok… Dari chat ini juga, aku udah tau kl kamu itu penggemar brondong.”.
Gw: “Trus buat apa dong?”
Rio: “Kamu orangnya bisa dipercaya kan?”
Gw: “Hmmmmhhh… Lumayan”.
Rio: “Feeling aku mengatakan kamu orangnya bisa dipercaya…”.
Gw: “Emang ada apa gitu?”.
Rio: “Sesuatu yang penting, urusan hidup mati aku…” gw merasa kalo dia sedang berbeban berat, dan tengah menghadapi masalah yang sangat serius.
Gw terdiam sesaat, berbagai pikiran berkecamuk di benak gw. Swear!!! gw bingung banget. Antara kasihan dan takut dikibulin.
Rio: ”Jadi kamu ga bisa kesini buat nolong aku ya?”.
Gw: “Aku bingung…”.
Rio: “Tenang aja, aku orang baik-baik kok. Aku cuma lagi butuh orang yang bisa aku percaya”.

Akhirnya tekad gw bulat buat menemui Rio di rumahnya, padahal jam tangan digital gw menunjukan angka 02.25 WIB. Setelah mendapakan alamat rumahnya, gw langsung meluncur dengan sepeda motor gw. Jalanan kecil yang gw lalui cukup bikin bulu kuduk berdiri. Selain dipinggirnya banyak ditumbuhi pepopohonan dan rerumputan liar, lampu penerangan jalannya pun sangat minim. Hmmmhhh… sungguh perjalanan dini hari yang berat buat gw.

Rio sudah menunggu gw di depan rumahnya. Rumahnya mungil tapi cukup asri. Sosok Rio ga terlalu tinggi, tapi besar. Taksiran gw bobotnya pasti lebih dari 90 KG. Yups dia gemuk, sipit tapi berkulit sawo matang. Dia tersenyum tanpa makna, senyumnya tampak dipaksakan.

Setelah gw dipersilahkan masuk, dan duduk di ruang keluarga. Di mulai bicara.
“Maaf aku maksa-maksa kamu datang kesini”. Sahutnya, membuka percakapan.
“Iya, gpp”. Jawab gw.
“Emang kamu lagi ada masalah apa?” tanya gw.
“Boleh aku memeluk kamu?, aku butuh bahu kamu Farrel…” Rio minta ijin gw. Gw hanya mengangguk.

Tiba-tiba, Rio memeluk gw dengan kencang dan menyandarkan kepalanya di bahu gw. Di menangis sejadi-jadinya, dengan tangisan seperti seorang yang sedang terluka hatinya. Gw bingung mau bereaksi seperti apa.

Gw hanya mengikuti naluri gw buat nenangin perasaan Rio dengan membiarkan semua emosinya terluap. Gw hanya menepuk- nepuk punggungnya dan sesekali mengusap kepalanya. Cukup lama, dia menangis. Ya lebih dari setengah jam dia menangis.
Setelah selesai menangis dia menatap gw dengan matanya yang masih sembab sambil bicara:
“Maaf ya… aku hanya bikin kamu susah…”.
“Jujur, aku tulus melakukan semua ini buat kamu…”. Gw membesarkan hatinya. Sekalipun gw masih bingung dengan apa yang menjadi inti dari permasalahan yang sedang Rio hadapi.
“Thank’s ya…” Rio, nampak mulai tenang dan bisa menguasai dirinya.
“Tunggu sebentar ya, aku mau ke toilet. Aku mau cuci muka dulu”. Sahut Rio.
Gw hanya tersenyum dan memberikan anggukan tanda kalo gw ga keberatan.

Ga begitu lama dia keluar dari toilet dan mengajak gw untuk duduk di ruang makan. Suasana sudah mulai mencair.
“Ngobrolnya disini aja ya ajaknya”. Sambil menyodorkan secangkir teh hangat buatannya.
“Kamu dokter ya?” tanya gw.
“Kok, kamu tau?” Rio balik bertanya, sambil tersenyum.
“Ya, aku lihat banyak buku-buku kedokteran di rak buku kamu”. Jawab gw.
“Kamu benar. Aku dokter… hmmhh spesialis bedah”.

Lalu meluncurlah penuturan dari mulut Rio… eh dr Rio he he he… Dia menjelaskan kalo dia sedang menghadapi masalah yang sangat berat yang membuatnya depresi. Rio tengah menghadapi tuntutan keluarga pasien, yang meninggal di meja operasi. Rio dianggap malpraktek oleh keluarga pasien itu.

Masalah lain yang membelit Rio adalah, Rio tengah limbung ditinggalkan pasangan sejenisnya yang berpaling ke pria lain. Padahal mereka sudah beberapa tahun hidup seatap bersama.
“Setiap kejadian pasti ada hikmahnya, Rio…” Gw mencoba berkata bijak.

Gw, ga mau berbicara terlalu banyak. Karena gw tau, Rio ga butuh nasihat-nasihat gw. Dia ga butuh kata-kata manis penghibur hatinya. Dia hanya membutuhkan:
- TEMAN yang mau mendengarnya berkeluh kesah,
- PELUKAN hangat seorang sahabat, dan
- BAHU, tempat dia bersandar dan menangis meluapkan emosinya.

Di pagi buta itu, bahu gw sudah bisa menenangkan jiwa seorang manusia yang tengah putus asa, dan nyaris bunuh diri… Bahu gw sudah menjadi tempat meluapkan tangis seseorang yang sedang gundah gulana…
Gw jadi teringat sebuah lagu tahun 90-an milik penyanyi tampan, Tommy Page. Yup, SHOULDERS TO CRY ON…

Conclusions:
Ternyata pelukan hangat bersahabat, bisa menyentuh hati yang terdalam manusia. Dan bahu tempat orang menumpahkan tangis derita, bahkan jauh lebih berharga dari kata-kata bijak manapun.

Kamis, 16 Juli 2009

Saksi Bisu Yang Diam Terbungkam

Malam minggu… Pada Suatu ketika… Setahun kemaren. Gw lagi kegatelan chatting dan nyambung dengan seorang brondong cute, yang bernama Darren. Waktu itu Darren belum genap berumur 17 tahun dan masih duduk di kelas III, di salah satu SMA Negeri yang cukup ternama di Kota Bandung. Setelah chat cukup lama dan menemukan kecocokan, akhirnya kami sepakat untuk ketemu. Tapi yang jadi persoalan adalah, dia lagi sama temannya. Ughhh damn!!! Alamat berantakan neh acara ketemuan kali ini!!! padahal jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

Ini sepenggal percakapan chatting gw dan Darren.
“Gimana neh? Emangnya temen kamu mau dikemanain?” tanya gw.
“Nyantai aja Bang. Temen aku mah orangnya asyik kok, ga rese. Lagian kita bisa pake tempat kost dia” jawabnya, enteng.
“Gila aja! Emangnya kita mau threesum?” lanjut gw.
“Kenapa ga?” tantang Darren.

Gw sampai -kata untuk menjawab. Hmmmhhh… anak-anak sekarang emang udah canggih dalam urusan esek esek neh he he he…
“Hmmmhhh… gimana ya?” gw jadi bingung.
“Nyantai aja ya Bang… Gpp kok.” rayunya.
“Ya udah kita ketemu dimana neh?” tanya gw.
“Di Dago aja, di depan hotel X”
“ Oke” gw setuju.

Jarum jam tangan yang melingkar di tangan kiri gw, sudah menunjukan hampir pukul 01.30 WIB, memang terlalu pagi untuk ketemuan. Tapi mau gimana lagi, udah terlanjur janji uy.
Tak memerlukan waktu yang lama gw menunggu di depan hotel X, gw melihat 2 orang brondong keluar dari sebuah gang di seberang hotel X. Secara sekilas juga gw udah bisa menilai, yang satu oke, yang satunya lagi… YGD (ya gitu dech he he he…).
“Hi, Bang Farrel ya?” Darren menyapa sambil tersenyum.
“Iya…” Sahut gw. Lalu kami bersalaman.
“Ini temen aku.” Darren memperkenalkan temannya
“Leon.” Dia memperkenalkan diri.
“Farrel.” Sahut gw. Sambil saling berjabat tangan.
“Eh sekarang kita mau kemana nih?” tanya gw.
“Kita nyari makan aja ya, Bang.” Pinta Darren.
“Ayo.” Gw setuju.

Kami berboncengan bertiga. Kami sepakat untuk makan di Gampoeng Aceh Dago. Kami makan sambil tetap ngobrol ngalor ngidul.
“udah kenyang?” tanya gw.
“Iya, udah. Aku makannya ga banyak kok” Jawab Darren sambil tersenyum.
“Kalo aku porsi makannya banyak, Bang. Malah aku mah ga kuat nahan laper, jadinya ngemil mulu ha ha ha…” Sahut Leon.
Ya iya lah, secara… Keliatan banget kalo dia itu tukang makan dan molor he he he… Liat aja, body-nya montok kaya kudanil lagi hamil xi xi xi…

Setelah beres makan, gw nganterin brondong-brondong itu pulang ke kostan Leon.
“Aku langsung pulang ya…” sahut gw.
“Kok, pulang?” Tanya Darren manja.
“Tidur disini aja, lagian udah terlalu pagi lho.” Lanjutnya.
“Iya, Bang. Gpp kok, nyantai aja” Leon nimbrung.

Akhirnya gw memutuskan untuk tidur di tempat kost Leon. Kami ngobrol sampai mata kami bener-bener ngantuk. Darren tidur menghadap tembok, gw di tengah, Leon di sebelah gw. Tak begitu lama tak terdengar lagi suara-suara obrolan… Hening menyergap, sunyi menyelinap. Rupanya Leon sudah nyenyak. Darren tidur membelakangi gw. Sementara, kantuk tak kunjung menghampiri gw.

Gw mencoba memeluk Darren dari belakang. Dalam beberapa detik ga ada reaksi. 1,2,3,…7,8,9.. Ga sampai hitungan ke sepuluh. Darren membalikkan badannya, dan membalas pelukan gw. Lalu dia melumat bibir gw, dan gw membalas ciumannya dengan bernafsu. Sesaat kemudian, badan kami sudah sama-sama polos. Kami terus dan terus… terbawa arus liar libido kami. Kami larut dalam gelora nafsu. Kami tak terhentikan saling memberi kenikmatan.

Gw dan Darren ga peduli keberadaan Leon. Gw tau banget, Leon sebenernya ga tidur. Dia terbangun mendengar desahan-desahan nafas gw dan Darren. Sesekali terlihat dia menyaksikan aksi kami, lewat cermin yang ada dihadapannya. Ah, peduli setan!!! he he he… Yang penting asyiiiiiikkk wakakakakaka….
Adzan subuh berkumandang, terdengar sayup bersahut-sahutan di kejauhan.
“Bang, udah subuh neh, orang-orang udah pada bangun... Lagian ga enak sama Leon…” Bisik Darren.
“Ohh… Ya udah, kita lanjutkan kapan-kapan aja....” Kata gw.
Lalu kami menghentikan aksi kami... Yup, gw harus menghormati keinginan Darren.
Darren dan gw kembali ke posisi semula. Dia berbalik ke tembok lagi. Dan gw berjuang agar mata gw bisa terpejam. Sementara Leon, ah… gw ga peduli he he he…

Tapi, keadaan itu ga berlangsung lama… gw merasakan ada hembusan nafas tersenggal-senggal di tengkuk gw. Kemudian gw merasa ada tangan yang memeluk gw dari belakang. Ah Darren… Dia menyerang gw, dan pertempuran pun berlanjut he he he…
“Bukannya ….” bisik gw di telinga Darren. Gw sengaja menggantung kalimat gw.
Darren hanya tersenyum nakal, dia menghentikan ocehan gw dengan ciuman panasnya… dia menyumpal mulut gw dengan bibir hangatnya… Kami sudah bener-bener kehilangan kendali.

Gw dan Darren ga peduli dengan tatapan mata Leon yang mengintip aksi kami lewat cermin.
Hari masih gelap. Pagi itu hasrat kami tepuaskan. Tuntas sudah pertempuran kami.
“Leon, punya tissu ga?” bisik gw di telinga Leon.

Leon mengambilkan tissu buat gw dan Darren dengan malas-malasan. Lalau Leon menyodorkan sekotak tissu untuk kami membersihkan diri…

Thanks Leon, Sorry ya gw ga ngajak-ngajak… (bisik gw dalam hati he he he…).
Pertemuan gw dan Darren, ga berhenti sampai disitu. Kami masih saling berhubungan baik sampai sekarang.

Conclusions:
Seringkali logika dan libido ga berbanding lurus… Logika akan kehilangan fungsinya, jika libido sudah pegang kendali… Tapi gw ga menyesalinya. Alias NO REGRETS!!! he he he…

Jumat, 10 Juli 2009

Antara Religi Dan Realita

Sebelum gw mantap memasuki pintu gerbang dunia gay, gw adalah seorang yang lumayan religius. Gw sangat mengenal baik seluk beluk tentang agama yang gw anut sampai titik yang terdalam. Gw juga sangat faham hukum-hukum agama, dan tata cara ibadah yang baik. Ratusan buku tentang agama telah gw lalap, puluhan seminar keagamaan telah gw ikuti. Beberapa jabatan telah gw lakoni. Di tempat gw beribadah, gw termasuk dihormati karena gw adalah seorang aktivis dengan jam terbang gw cukup tinggi.

Namun tepatnya lebih dari 8 tahun yang lalu, sejak gw mengenal dunia gay, secara perlahan namun pasti gw mengalami degradasi keimanan. Aktivitas ibadah keagamaan gw makin menurun dan pada akhirnya berhenti sama sekali. Gw memutuskan buat cuti sementara he he he… Secara iman, gw sangat percaya keberadaan dan kekuasaan Tuhan, tapi disisi lain gw juga ga berdaya menahan gejolak hasrat ke-gay-an gw.

Gw selalu dihantui rasa bersalah setiap gw selesai memuaskan hasrat seks gw. Di satu sisi gw dituntut untuk hidup suci, tapi di sisi lain gw masih berkubang dalam lumpur dosa. Gw ga punya kuasa untuk lari dari kenyataan kalo gw seorang gay.

Dalam agama, kita hanya mengenal kata: Benar dan salah, pahala dan dosa, surga dan neraka, rewards and punishment. Agama juga hanya mengenal area hitam dan putih, ga ada yang namanya area abu-abu. Karena dosa dan kesucian tidak bisa berpadu, gelap dan terang ga mungkin menyatu. Kita ga bisa memilih hidup dalam dunia remang-remang… emangngya di tempat dugem? he he he….

Setahu gw, agama manapun menganggap homoseksual adalah dosa besar. Bahkan menurut agama yang gw anut, seorang pemburit (gay), tidak akan pernah bisa masuk kedalam kerajaan surga.

Antara religi dan homoseksual ga akan pernah ketemu ujungnya. Terdapat dinding tebal yang memisahkan keduanya. Ada jurang yang sangat dalam yang memisahkannya. Keduanya ga mungkin menyatu. Seperti air dan minyak, sampai lebaran simpanse pun tetap ga mungkin bisa disatukan he he he… Di luar negeri nun jauh di sana, ada orang-orang yang berusaha mencari pembenaran sendiri, dengan mendirikan tempat ibadah yang merestui kehidupan gay. Dan melegalkan perkawinan cinta sejenis. Tapi menurut gw, itu adalah perbuatan yang sia-sia. Untuk apa pembenaran dari manusia? Karena kebenaran yang sejati hanya milik Tuhan.

Pada satu titik. akhirnya gw mengambil keputusan untuk berhenti dulu dari aktivitas keagamaan. Gw ga mau terkekang menjadi seorang yang munafik. Gw merasa ga mungkin bisa menjalani kehidupan keduanya secara bersamaan. Dosa dan pahala ga diatur oleh hukum timbang menimbang (apalagi timbangan jengkol he he he…), dimana yang lebih berat itulah yang menjadi hasil akhir. Seperti peribahasa mengatakan: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitu juga, segala usaha kita dalam rangka memperoleh pahala lewat ibadah, akan ternoda dan hancur oleh ‘nila setitik’ dosa homoseksual kita.

Setelah gw menghentikan aktivitas religi gw. Gw merasa menjadi orang yang baru. It’s the real me. Sekarang gw bener-bener merasa bebas dari belenggu rasa bersalah menjadi seorang gay.
Gw mengambil keputusan ini, bukan dengan maksud untuk euforia, berbuat semau gw menentang hukum Tuhan. Untuk sekarang ini gw hanya ingin menjalani kehidupan gay gw dengan tenang, tanpa rasa bersalah, tanpa dikejar-kejar rasa berdosa.

Gw yakin, suatu saat gw pasti menemukan titik jenuh. Dan disitulah saatnya gw untuk bertobat dan fokus untuk menebus dosa-dosa yang telah gw perbuat. Kemantapan dalam mengambil keputusan untuk bertobat harus bener-bener bulat. Kalo nanti Tuhan memberi gw kesempatan untuk bertobat. Gw pengen tobat yang bener-bener tobat, yang ga akan menengok kembali kearah belakang, tapi mantap menatap masa depan. Sekali lagi, TOBAT bukan TOMAT (tomat = tobat… kumat… tobat… kumat… tobat… kumat he he he…).

Hari minggu, 5 Juli 2009 kemaren. Gw nengok ibu teman gw, yang sedang dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Bandung. Dia baru menjalani operasi pengangkatan batu empedu. Gw melihat ibu teman gw masih terkulai lemah dan kesadarannya belum bener-bener penuh, dia masih dalam pengaruh obat bius. Selain gw dan temen gw, disitu juga ada kakak temen gw.
“Ma, ini ada yang datang”. Kata temen gw ke ibunya.
“Tante, gimana? Udah baikan?”. Tanya gw.
Dia hanya tersenyum lemah, sambil menahan rasa sakit. Gw menyalami tangannya.
“Ma, tau ini siapa?”. Sahut temen gw, sambil menunjuk kearah gw.
“Farrel…”. Jawabnya, setelah berpikir beberapa saat.
Suasana hening... tanpa kata, tanpa suara.
“Farrel, tolong doain mama gw ya…” pinta temen gw.

Gw tersentak dalam hati, aduh!!! gw kan sudah lama ga pernah berdoa!!!… sudah lama gw ga pernah menghadap Tuhan. Gimana nih?... perasaan gw berkecamuk. Gw dikasih kehormatan untuk memimpin doa, tapi gw merasa ga enak hati melakukannya. Mungkin temen gw menyangka kalo gw masih sereligius kaya dulu. Tapi ah sudahlah…

Kata demi kata meluncur dari mulut gw, berbait-bait doa termohonkan. Ah…ternyata gw masih lancar dan fasih memanjatkan kalimat-kalimat doa… Setelah doa usai, gw melihat binar rasa terimakasih dari sorot mata temen gw dan kakaknya.
Lagi-lagi… gw kembali merasa jadi orang munafik…

Conclusions:
Doa yang tulus, sekalipun keluar dari mulut orang yang kotor. Gw sangat yakin, Tuhan pasti masih mau mendengarnya…

Rabu, 01 Juli 2009

Tertangkap Basah

Bandung, 19 Desember 2003
Seperti biasanya setiap weekend gw nginap di tempat kost Troy, my first love. Mulai Sabtu siang sampai hari minggu malam gw menemani Troy. Kami selalu menghabiskan waktu bersama dengan bermesraan sepanjang hari, sepanjang waktu… Sering kami menghabiskan hari tanpa keluar kamar. Berdua saja tanpa pakaian… Hanya cinta dan kehangatan yang menyelimuti tubuh polos kami. Mulai petang, hingga rembang tengah hari kami bergumul dalam lautan asmara. Tanpa rasa jenuh ataupun bosan, kami saling menyemai cinta dalam indahnya hari-hari kami… (wuiiihhh romantis amat neh he he he…).

Gw inget hari itu, Sabtu siang pukul 11.00. Gw dan Troy lagi ngobrol berdua sambil melepas kangen, maklum gw dan Troy ga bisa ketemu tiap hari. Tapi ada yang bikin kemesraan kami terganggu dan tertunda. Penyebabnya adalah kedatangan sahabat Troy, namanya Daniel. Daniel nimbrung dan ngobrol bareng dengan kami. Yup, gw dan Troy ga bebas lagi neh… coz ga mungkin kami bermesraan di depan Daniel, selain risih tentu saja karena Daniel straight, dan dia ga tau kalo gw dan Troy punya hubungan khusus.
Waktu berjalan terus. Ga ada tanda-tanda Daniel mau pamit pulang… hmmmhhh sungguh menjengkelkan. Tapi kami ga bisa berbuat apa-apa, selain harus sabar menunggu kepulangan Daniel. Jam menunjukkan pukul 16.00, tapi Daniel masih tetep asyik merecoki kami. Kekecewaan nampak dari raut wajah Troy, dia kesal karena Daniel ga pergi-pergi dari hadapan kami.

Pukul 22.00 Daniel masih belom pulang juga. Sudah banyak topik obrolan yang kami bahas, sudah banyak makanan yang sudah Daniel habiskan. Tapi tetap dia ga pulang-pulang. Ujung-ujungnya dia bilang:
“Troy, malam ini gw tidur disini ya?”
Busyet!! Bakalan hancur acara gw dan Troy malam ini, gw menggumam dalam hati.
“Wah kayanya ga bisa, Daniel. Sekarang kan lagi ada Farrel, mau tidur dimana? Kasur gw kan kecil”. Sahut Troy.
“Ah, nyantai aja… gw tidur di lantai juga gpp kok”. Daniel keukeuh.
“Mendingan loe tidur ke kostan loe aja, lagian ga jauh juga kan?” Troy mencoba bermuslihat.
“Ga ah males, udah malam”.
“Hmmmhhhh…”. Troy hanya bisa menggumam, kehabisan akal.

Akhirnya malam itu kami bertiga ngobrol sampai tengah malam. Mungkin karena kehilangan kesabarannya, akhirnya Troy beranjak pergi.
“Gw mau ngerjain tugas di luar…” Gumamnya, dengan malas. Troy keluar kamar sambil membawa setumpuk buku. Gw ngerti banget, Troy kesal harus menahan hasrat kami yang tertunda.

Pukul 02.15, Daniel sudah nyenyak dalam buaian mimpi. Gw keluar kamar, menghampiri Troy yang sedang sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Gw mendekat lalu duduk di sofa beludru coklat disebelah Troy. Troy tersenyum menyambut kedatangan gw.
“Masih bete ya?” gw menggoda.
“Udah ga kok”. Dia sudah cooling down.
“Beneran…?” tanya gw, usil.
“Iyaaaa..!!” mata Troy mendelik sambil mencubit perut gw.
Lalu kami berciuman, melepas rasa kangen yang sudah tertunda sejak siang tadi. Gw melumat bibir merah mudanya. Troy tak kalah garang.
“Udah ah… takut ketahuan orang”. Sahut gw.
“Ga bakalan! semua pasti udah pada tidur kok. Nyantai aja”. Troy ga peduli.
Ciuman kami makin panas.
Nafas kami tersenggal-senggal, seakan berlomba-lomba dengan degup jantung kami yang makin kencang. Troy makin tak terkendali, dia mulai meraih ritzleting celana gw.
“Jangan kebablasan Troy…” Sahut gw mengingatkan.
“Tenang aja ga ada siapa-siapa kok”. Troy mengerling nakal.

Akhirnya gw pasrah waktu Troy memelorotkan celana gw sampai lutut. Gw rebah di sofa beludru coklat. Troy dengan bernafsu, melumat organ vital gw. Terus dan terus dia mengoral gw… seakan-akan dia ga ingin menyia-nyiakan setiap detik yang berlalu. Tiba-tiba kami dikejutkan sesosok cewek yang berdiri tertegun, dia nampak shock melihat apa yang terjadi dihadapannya.

Gw dan Troy tak kalah kagetnya. Yang cepat tersadar dari situasi ini adalah cewek itu,. Dia segera berlalu dengan langkah cepat menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan bunyi berdebum. Gw segera memakai celana gw. Wajah Troy masih terlihat pucat, ga siap rahasianya terbongkar. Cewek itu kemudian keluar dari kamar mandi, berlari kecil menuju kamarnya lagi. Dia bertingkah seolah-olah tidak melihat kejadian apa-apa. Dia berlalu tanpa melihat ke arah kami.

Cewek itu adalah Astrid, penghuni ruangan di sebelah kamar Troy, sekaligus teman kuliah Troy. Gw sudah lama tau, kalo Astrid itu naksir berat sama Troy. Astrid sering terlihat berusaha mencuri perhatian Troy, dengan berbagai cara. Dan sekarang? Dia sangat shock memergoki cowok idolanya ternyata seorang gay. Sorry, Astrid… Loe mencintai orang yang salah.

Conclusions:
Jadi inget lagu Meggy Z: Terlanjur basah… ya sudah mandi sekali… wakakakaka... Gw malu, tapi mau gimana lagi? Ga ada yang perlu disesali, coz waktu ga mungkin diputar kembali. Let’s be gone be by gone! Yang jelas gw bakal lebih berhati-hati memilih tempat untuk bermesraan he he he…