Kamis, 25 Maret 2010

Fashion & Me 4

The next episode... Y-neck lagi, Y-neck lagiiii... apa boleh buat, permintaan masih kenceng neh he he he... makanya jangan bosen ya liatnya he he he... setelah perjuangan yang cukup lama, akhirnya beres juga koleksi terbaru baju-baju gw. jadi inget pas pertama kali bikin, orang-orang memandang sebelah mata, menganggap modelnya aneh, banci bgt (emang iya sih he he he...). Tapi makin lama kok makin banyak yang pake ya? he he he... O ya, buat yang mau pesen harganya rata-rata Rp 60.000,-. yang serius mo pesen, kirim e-mail aja ke farrel_fortunatus@yahoo.com. tar bakal gw jelasin cara pesennya.... met belanja!!!


































Senin, 01 Maret 2010

Half Blood Prince

Jaman dahulu kala, sekitar tahun 1930-an. Seorang pemuda perantauan dari daratan China, yang bernama Tan Ping Hien tiba di sebuah negeri yang penduduk aslinya berkulit sawo matang. Waktu itu umurnya belumlah genap 12 tahun. Himpitan ekonomi, kekacauan, peperangan dan kesusahan hidup di kampungnya, membuat tekadnya bulat untuk ikut merantau bersama kerabatnya ke negeri subur jajahan Belanda (Indonesia). Terombang-ambing di sebuah kapal kecil selama berbulan-bulan di lautan, tak menyurutkan niatnya untuk tetap pada visi hidupnya, merubah nasib hidupnya.
Perbedaan kultur dan adat istiadat hanya sebentar membuatnya terperangah. Dengan mudah dia menyesuaikan diri. Bahkan waktu datangpun dia hanya mampu berbahasa tanah leluhurnya. Berkat kemauan dan kerja keras, sedikit demi sedikit dia mulai bisa berbahasa melayu, tentu saja dengan logat lucunya. Tan Ping Hien muda pun sempat terheran-heran ketika untuk pertama kalinya melihat binatang penyantap nyamuk yang melata di dinding. Cecak yang buat kita merupakan binatang biasa saja, sempat membuatnya terkagum-kagum karena di negeri leluhurnya tidak ada binatang seperti itu.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakoni, berbagai keterampilan juga telah ia pelajari dari setiap taoke (boss) yang pernah mempekerjakan dia. Dia pernah bekerja pada seorang tukang kamasan (pembuat perhiasan emas), sebuah pekerjaan yang kelak menjadi penopang hidupnya. Untunglah ia seorang anak yang cerdas, mudah bergaul dan punya citarasa seni tinggi, sehingga dengan mudah dia mampu menyerap semua ilmu membuat perhiasan, mulai dari melebur, menempa, membentuk, memperindah, menyepuh dan lain-lain.
Berbagai kota di negeri ini pernah dia jelajahi dalam perantauannya. Akhirnya menetaplah di sebuah kota kecil, di Kabupaten Bandung. Disana dia menemukan kembang desa, seorang gadis pribumi bernama Sarimanah. Perbedaan latar belakang sempat membuat keluarga Sarimanah menentang pernikahan mereka. Namun kekuatan cinta tak menyurutkan langkah mereka untuk membina rumah tangga. Dari pernikahannya lahirlah 3 orang anak: 2 orang putera yang diberi nama Tan Kim Hong dan Tan Kim Liong (bokap gw), dan seorang puteri Tan Giok Hwa. Dalam usia yang sangat muda, terutama buat si bungsu baru yang menginjak umur 2 tahun. ketiga bocah itu harus kehilangan ibunya yang meninggal dunia di usia 22 tahun.
Bokap gw yang berdarah campuran (half blood) Chinese-Sunda, menikahi seorang perempuan berdarah campuran juga (dominan chinese tapi dari garis neneknya ada keturunan darah Belanda). Dari pernikahannya itu lahirlah 4 orang anak: kakak laki-laki gw, kakak perempuan gw, gw, dan adik perempuan gw.
Itulah silsilah diri gw, yang secara fisik dan kultur berada diantara dua etnis itu (Chinese-Sunda). Warna kulit dan wajah gw, tidak kelihatan chinese banget ataupun pri banget. Gw juga ga bisa berbahasa Mandarin, makanya temen-temen gw sering bilang gw itu China murtad he he he... Bahasa Sunda gw kadang malah lebih bagus dari temen-temen gw yang orang Sunda tulen.

23 Februari kemaren, Alvin ngajak gw ke acara perayaan Imlek perkumpulan
Marga Kwok/Kwee se-Bandung di Grand Eastern Restaurant. Yang hadir kelihatan banget dari kalangan menengah keatas (Marga Kwok/Kwee adalah orang Khe, yang dari dulu terkenal bermata pencaharian sebagai pengusaha atau boss besar. Jarang banget terdengar orang Khe hanya menjadi pegawai biasa, mayoritas punya bisnis sendiri, minimal mereka punya toko.
Acara dipandu oleh sepasang MC dalam Bahasa mandarin. Bahkan kata sambutan pun semuanya menggunakan Bahasa Mandarin. Lumayan bikin gw cengo he he he... Yang masih bisa gw nikmatin adalah pertunjukan 4 barongsai dan tarian naga panjang yang meliuk-liuk. Penampilan 4 orang abg memamerkan kepiawaian ber-kungfu membuat gw terpesona.
Untuk memeriahkan malam itu seorang penyanyi perempuan, sengaja didatangkan langsung dari Taiwan. Penampilannya cukup menghibur, menyajikan lagu-lagu mandarin nostalgia, seperti lagu ‘Ye Lai Xiang’ nya Teresa Teng dan lagu-lagu nostalgia lainnya. Tapi kalo diperhatikan penyanyi yang memakai baju kaya gaun pengantin itu kok kaya waria ya? upss... he he he...
Seorang penyanyi laki-laki yang gw perkirakan umurnya sudah menginjak umur hampir 50-an tampil. Dia memakai kemeja corak garis abu hitam berkerah besar dengan belahan dada rendah dan jalitan tali yang saling silang-menyilang di dadanya. Untuk bawahannya dia memakai celana panjang putih ketat berkantung banyak, dilengkapi sepatu putih (wew... banci banget he he he...). Dan sesuai dengan radar gw, dia tampil sangat ngondek ha ha ha... ditambah dengan aksi panggungnya yang bikin gw geli, dia sering menendangkan kakinya, persis kaya penyanyi dangdut vetty vera kalo lagi beraksi qiqiqi... (gw jadi inget fim seri Ksatria Baja Hitam: “Tendangan Mauuuuuuuuuttt!!!!” wkwkwk...).
Semua tamu undangan menempati meja makan yang telah ditentukan. Tiap meja berisi sekitar 8-10 orang undangan. Makanan demi makanan dihidangkan satu demi satu ke meja makan. Setelah makanan yang satu hampir habis, lalu dihidangkan makanan yang berikutnya, dan berikutnya (Cia Chiu).
Seorang bapak-bapak umur 60-an yang duduk satu meja dengan gw, keliatan banget dia sering mencuri-curi pandang ke gw. Awalnya gw ga ngeh coz ada istrinya yang duduk di sebelah dia. Seorang tante-tante berwajah garang qiqiqi... Tapi gw lama-lama tambah yakin kalo dia itu gay veteran he he he... apalagi dia tampil chic dengan rambut tertata rapi ala Richie Ricardo (wuiiiihhh penyanyi remaja jadul he he he... yang sudah almarhum), plus kemeja kotak-kotak putih-orange yang tight dan celana panjang yang lagi-lagi... putih... he he he... Si bapak yang bergigi cadok ini, sering melirik dan senyum-senyum ke arah gw weeekkkks...!!! Si bapak bergigi cadok ini ternyata banci tampil juga. Dia tampil menyumbangkan suara ‘emasnya’ (suara yang bikin penonton menahan tawa geli he he he...) di panggung. Tak puas dengan cuma nyanyi, dia pun tampil berdansa salsa, cha cha cha, dan tarian latin lainnya bersama istri dan 2 pasangan lainnya. Wew ternyata badannya lentur banget buuuu... goyang pinggulnya aduhaaaaaiiii... kaya Olga Syahputra he he he...
Malam itu memang bukan malam keberuntungan gw: 1. gw banyak cengo-nya coz ga ngerti bahasa Mandarin yang dipake sebagai bahasa pengantar acara, 2. Ga dapet doorprize wkwkwk... 3. dikecengin ‘gay veteran’ pula wew... (hmmhhhh... Brondong-brondong bermarga Kwok/Kwee pada kemana ya? he he he...).
Di tubuh gw mengalir darah campuran: chinese dan sunda. Orang chinese menyebutnya sebagai ‘peranakan’ karena tidak berdarah murni. Tp gw malah merasa beruntung, karena gw bisa masuk ke kalangan manapun. Kalo belanja di toko orang chinese gw nawar pake istilah bahasa pasar orang chinese (kaya ceceng, ceban, cetiao dll.), jadilah gw dapat discount lebih gede. Dan kalo berinteraksi dengan orang sunda, gw menggunakan Bahasa Sunda halus, maka lancarlah segala urusan he he he...

Conclusions:
Kepercayaan diri itu timbul bukan karena apa yang kita miliki, tapi karena keikhlasan kita menerima diri kita apa adanya... chiayooo...