Kamis, 27 Januari 2011

Balada Cong Di Lapang Bulutangkis

Gw suka banget olahraga ini. Olah raga yang menggunakan raket dan shuttlecock (hmmmm... cock? I love it!! hihihi...) ini, sudah jadi hobby gw sejak dulu selagi gw masih berseragam putih biru. Walau gw sudah main olahraga ini cukup lama, bukan berarti permainan gw udah bagus banget lho, tapi lumayanlah ga malu-maluin he he he... Dulu emang banyak aktivitas olahraga yang gw jalanin. Tapi sekarang, olahraga yang masih rutin gw lakuin tinggal bulutangkis dan renang.

Dulu 3 kali dalam seminggu gw punya jadwal rutin bermain bulutangkis. Ya gitu lah, kalo lagi rajin main, maiiiiiiin teruuuus. Tapi giliran bosen, bisa vacum berbulan-bulan. Bahkan gw pernah sampai 3 tahun ga pegang raket. Udah setahun ini gw rutin bermain tiap jumat malam di sebuah GOR di jalan Soekarno Hatta, Bandung. Lumayanlah buat menjaga kesehatan dan supaya stamina tetap fit. O ya, gw lebih suka main double coz lebih seru aja, bisa kerjasama dan ga terlalu nguras tenaga abis-abisan. Dalam semalam paling sedikit gw main 4 game, tapi kadang bisa sampe 5-6 game lho (catatan buat yang ga begitu tau/ga suka bulutangkis: dalam1 game, permainan straight set=2set dan permainan rubber set=3 set).

Beberapa bulan lalu ada yang menarik perhatian orang-orang di lapang bulutangkis. Yupz, malam itu ada seorang cowok, tinggi, berkulit putih, tampah enak dilihat, memakai kaos putih body fit dengan bawahan mini boxer ketat (beneran mini, bahkan super mini he he he...) warna merah bermotif kembang sepatu putih. Berjalan melenggang seperti miss universe jiakakakakak... melewati gw dan teman-teman yang lagi stratching di dekat lapangan 2 (lapangan 2 dan 3 tempat main kelompok gw). Owh... ternyata dia menuju lapangan 4. Tentu saja dia jadi bahan gunjingan temen-temen gw, coz ini pertama kalinya kita-kita ngeliat orang main bulutangkis yang cong banget ha ha ha... gw ga tau siapa namanya, tapi gw mau sebut aja dia dengan nama Puspa hihihi...

Setelah beberapa saat semua orang baru tau, ternyata permaianan bulutangkis si Puspa itu lumayan bagus lho. Gesit, langkahnya panjang, staminanya bagus dan smashnya keras banget. Tapi tetap dengan gaya seanggun susi susanti he he he...

Malam itu, lapangan 4 emang lagi kekurangan pemain, jadi kelompok gw bisa berbaur dengan kelompok itu. Termasuk gw yang punya kesempatan menjajal ketangguhan si Puspa. Set-set awal gw dan pasangan ganda gw kewalahan melayani serangan dan sabetan-sabetan bola cepat bertubi-tubi dari si Puspa. Set pertama kubu gw kalah telak 4-15. Di set ke dua, poin kubu gw kembali tertinggal jauh 2-11. Tapi gw menguatkan hati dan bertekad harus menang, masa harus kalah sama super cong? gengsi dooooonnngg (istilah film warkop DKI banget ya? wkwkwwk...). akhirnya secara perlahan tapi pasti gw bisa menyamakan kedudukan, dan bahkan mengunci poin si puspa tetap di angka 11. Gw menutup set ke dua dengan kemenangan 15-11. Di set ke tiga permainan makin sengit, saling serang dengan angka susul menyusul, yang selisihnya ga pernah lebih dari satu angka. Akhirnya set ke-tiga bisa gw tutup dengan 17-16, setelah melalui deuce.

Fiuuuuhhhh... gw bernafas lega, karena ga jadi kehilangan muka dipecundangi si Puspa he he he... Puspa penasaran, dia ngajak revange, gw layani dan menang lagi. permainan yang seru dan menguras keringat. Itulah kemunculan si Puspa untuk yang pertama dan terakhir kali di lapangan. Gw ga pernah melihat batang hidungnya lagi (dan boro-boro batang lainnya he he he...).

By the way, di kelompok gw ada seorang koko-koko cakep, yang punya toko grosir cukup besar. Dia pemain kidal (konon menurut referensi yang pernah gw baca, prosentase kaum kidal punya kecenderungan berorientasi sex gay atau bisex, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pengguna tangan kanan. Uuppsss jangan protes ya!! ini bukan teori gw lho he he he...). Gw curiga dia binan juga. Coz tiap kali datang, dia pasti didampingi 2 orang cong eksotis (item, kurus, wajah n’deso he he he...). Menurut si koko itu, 2 orang cong eksotis itu adalah pegawainya. Kenapa gw menilai 2 orang itu cong? ya gaydar gw yang tajam ini lah yang menangkap signalnya he he he... secara bicara sih biasa aja, tapi bahasa tubuhnya cong banget wkwkwkwk... malah cong yang satunya punya kebiasaan kalo melakukan service, kaki kirinya bergerak-gerak kaya lagi membentuk lingkaran he he he... Menurut feeling gw, 2 cong eksotis itu adalah cemceman si koko... hhhmmm... setuju? Setuju aja ya!! he he he...

Sudah tiga bulan lebih si koko dan 2 keroco-nya ga muncul di lapangan. Tapi Jumat malam kemarin, tanggal 21 Januari 2011, si koko dan 2 cong eksotis muncul lagi. Setelah 3 bulan ga ketemu, si koko nampak lebih kurusan dan seperti kurang sehat.
Gw: “Kemana aja ko? Kok udah lama ga keliatan?”
Si Koko: “Iya, kemarin-kemarin sakit, harus istirahat sama dokter”
Gw: “O ya? Pantesan sekarang kurusan. Emang sakit apa gitu Ko?”
Si Koko: “Penyakitnya banyak, kolesterol tinggi, hipertensi, trus kadar trigliserida saya tinggi banget, jadi kudu ngatur pola makan, termasuk ga boleh makan nasi sama sekali.”
Gw: “Wah pantesan...."

Kasian banget si Koko, punya duit banyak tapi ga bisa makan makanan yang enak-enak dan ga bisa menikmati hidup. Makan ini ga boleh, makan itu ga boleh. Gula dan garam dikurangi. Goreng-gorengan ga boleh. Yang masih boleh cuma tahu, tempe, sayur, dan buah (itu pun ga semua sayur dan buah boleh dimakan)... wuiiihhh mana seru cuma makan gituan doang?

Segala sesuatu yang berlebihan itu ga baik. Supaya kita bisa menikmati hidup lebih lama (sampai tua tetap sehat), kita perlu menjaga keseimbangan. Makan, minum, bekerja, istirahat, dan olahraga semuanya harus teratur dan seimbang. Jauhi rokok dan alkohol. Himbauan yang mengatakan: makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang... rasanya sudah saatnya kita praktekkan.

Conclusions:
Benar kata orang bijak; kesehatan adalah harta paling berharga. Uang bisa membeli obat yang mahal, tapi tidak bisa membeli kesehatan.

Senin, 10 Januari 2011

Darmaji

Malam itu 17 Desember 2010, jalanan aspal sepanjang kota Bandung masih basah akibat sisa-sisa guyuran air hujan tadi malam. Seperti biasanya, setiap Jumat malam setelah main bulutangkis, gw dan kawan-kawan suka merambah kota Bandung berwisata kuliner tengah malam. Hampir semua kedai atau tempat makan yang suka berjualan sampai dini hari sudah gw sambangi.

Perkedel Bondon menjadi tempat tujuan makan tengah malam kami malam itu. Perkedel Bondon? Yups!! Perkedel Bondon. Perkedel pasti tau dong apa? Nah, kalo Bondon? Bondon istilah dalam Bahasa Sunda untuk PSK atau pelacur. Trus apa hubungannya antara perkedel dengan bondon/PSK? Bukan gara-gara yang jualanannya berprofesi ganda sebagai bondon lho he he he... Mungkin karena jam jualannya tengah malam (diatas jam 22.00 sampai pagi), yang persis banget dengan jam bergerilyanya para bondon menjajakan diri.... Wuiiihhh...

Gw dan kelima teman gw, Alvin, Viona, Gunadi,Syani, dan Hizkia baru sampai di terminal angkutan umum, stasiun hall (lokasi Penjual Perkedel Bondon). Padahal waktu sudah menunjukan 15 menit lewat dari tengah malam. Aroma harum perkedel yang lagi digoreng menyeruak, menggelitik hidung kami. Mungkin rahasia aroma harumnya karena perkedel itu digoreng diatas tungku dengan bara arang sebagai pemanasnya. Ga pake menunggu lama kami pun berbaur dengan puluhan orang yang sudah memenuhi kedai itu.

20 biji perkedel (tanpa bondon hihihi...) kami pesan. Kami santap dengan lahap. Perkedel yang renyah dan masih panas dengan nasi putih dan sambal terasi plus aneka hidangan lain (seperti sayur lodeh, semur telor, dendeng sapi, orak-arik tempe dll), membuat kami lupa diri (persetan dengan program diet he he he...). dalam waktu singkat perkedel sudah hilang dari pandangan mata, berpindah ke dalam perut buncit mereka (dan gw tentunya) he he he... Alvin pesan 10 biji perkedel lagi, dan hampir ludes juga dalam hitungan menit. Sebenernya gw sudah berkali-kali makan perkedel bondon, tapi ga tau kenapa, Perkedel Bondon selalu ngangenin dan bikin gw makan dengan lahap. Selagi kami makan, Syani memesan 10 biji lagi buat dibawa pulang (maklum dia baru sekali itu nyobain perkedel bondon). Alvin minta penjual membungkuskan 2 biji perkedel yang tersisa di piring (tanggung banget ya? mau dimakan udah kekenyangan, mau ditinggalin sayang he he he...).

Malam itu giliran gw yang membereskan pembayaran makanan. Gw mengabsen apa-apa saja yang telah mengisi perut kami. 30 biji perkedel, 1 mangkuk sayur lodeh, 1 dendeng sapi, 1 biji semur telor, tumis so’un cabe ijo, orak-arik tempe, 1 botol coca cola dan lain-lain, total Rp 58.000,- saja. Dan kami pun melenggang pulang dengan perut kekenyangan...

Setelah sampai di rumah, beres mandi dan siap naik ke tempat tidur gw baru nyadar kalo perkedel yang kami pesan itu ternyata 40 biji bukan 30 biji. Gw sama sekali ga ada maksud DARMAJI = dahar lima ngaku hiji (makan lima ngaku satu lho... he he he...). Ga seberapa sih cuma 10.000 perak doang, tapi kok bikin ga enak hati ya?. Trus gw langsung telpon Syani dan Alvin, mereka malah cekikikan ngetawain gw.
“Sialan!! Oke Syani, gw yang salah bayar, tapi kan loe yang makan 10 biji perkedelnya, jadi loe dong yang nanggung dosanya... jiakkakakak...” sahut gw.
“Idih, ogah ah... ha ha ha...” jawab Syani sambil ketawa-ketawa.
Gw ngomong dalam hati: “Maaf ya Bu Bondon... Eitttsss!!! Uppppsss!!!...” Ralat: “Maaf ya Bu Penjual Perkedel Bondon he he he... Tar kalo kami kesana lagi pasti kami bayar dech. Swear!!!”

24 Desember 2010, setelah kebaktian Natal. Gw, Alvin, Viona, Syani dan Gunadi meluncur ke bukit dago, dengan tujuan Warung Lela atau lebih dikenal dengan Wale di Jl. Rancakendal, Dago atas. Butuh perjuangan untuk sampai disana. Jalan kecil yang naik turun, dengan tikungan-tikungan tajamnya tak menyurutkan semangat kami dan orang-orang untuk menjajal makanan Wale. Jam sudah beranjak pukul 21.00 malam, tapi pengunjung Wale masih ramai berjubel memenuhi semua sudut Wale. Menu special Wale adalah Mie Bakso, tapi malam itu gw lagi pengen nyoba nasi dan semur lidah sapi, sementara temen-temen yang laen pesan 2 porsi Mie Yamien Manis+Bakso, 1 porsi Yahun Manis+Bakso dan 1 porsi Yahun asin+pangsit.

Semur lidah sapinya empuk, lumayan enak (buat gw yang baru nyobain lidah sapi, kalo lidah cowok sih udah sering ha ha ha...). Menurut gw sih Mie Bakso Wale, lumayan enak, tapi masih kalah enak dengan Mie Akong, Jl. Pungkur, Mie Naripan, Jl Naripan, Mie Rica Rica, Jl. Kejaksaan dll.

Mungkin yang bikin orang mau jauh-jauh makan di Wale, karena tempatnya yang cozy. Dengan furniture kursi-kursi dan meja tua jaman jebot yang pelitur-nya dibiarin terkelupas. Begitu juga interiornya terbuat dari kayu-kayu tua. Taman yang asri dengan tangga batu alam, menambah kenyamanan berkuliner di hawa dingin Bukit Dago.

Waiter-waiter di Wale semuanya berkulit gelap, dengan karakter wajah n’deso alias eksotis he he he... Waiter-waiter itu terlihat jomplang dari segi umur, ada yang terlihat ABG ada juga yang terlihat sudah tua. Dan semuanya tidak memakai pakaian seragam. Tapi dalam hal pelayanan, mereka sangat cekatan.

Gw dan teman-teman, menyantap hidangan di hadapan kami sambil asyik ngobrol ngalor ngidul. Alvin yang doyan pedas, nampak mulai berkeringat he he he... sambil asyik makan mie baksonya dia menikmati berbungkus-bungkus kerupuk (sebenernya kerupuk warung biasa, yang kalo di warung deket rumah dijual Rp500,-).
“Sudah lama banget ga makan kerupuk ginian, jadi inget jaman SD.” Sahutnya.
“Kalo mau mah, tar gw beliin dech... di pasar paling juga 4.000 perak isi 10 bungkus” Kata Syani.
“O ya? Beneran neh?” Kata Alvin.
“Iya atuh, masa gw bohong.” Jawab Syani.
“Gpp-lah sementara mah, makan yang ini aja dulu, paling juga 1000 perak per bungkus.” Lanjut Alvin sambil, membuka bungkus kerupuk ke-lima yang dimakannya.

Makanan di meja pun ludes, setelah puas ngobrol kami segera beranjak menuju kasir. Waktu itu giliran Syani yang membereskan bon makanan kami. Disana sang kasir (berbadan jumbo he he he...) mulai mengabsen makanan yang kami makan: Nasi+Semur lidah, Yamien, Yahun, 2 bungkus pangsit goreng, 6 bungkus kerupuk. Yuni mengangguk, membenarkan. Dan dibayarkanlah sejumlah uang sesuai jumlah yang tercetak di struk.

Sementara Gunadi pergi ke toilet. Gw, Alvin, Syani dan Viona kembali harus duduk manis tak jauh dari meja kasir, menunggu Gunadi muncul. Alvin, meminjam struk pembayaran. Dia memperhatikan setiap angka yang tercetak di lembaran kertas struk itu.
“Anjrit!!! Kerupuk Rp 3.000,- per bungkus!!!” Teriak Alvin secara spontan.
Kami semua cekakak cekikik dengan suara tertahan
“Kata gw jg, mendingan beli di pasar Rp 4.000,- dapet 10 bungkus, bro!!” Sahut Syani, sambil ngakak.
Selagi kami ketawa-ketawa, seorang waiter lewat dan menyahut:
“Mas, di Wale mah ga jualan kerupuk, tapi jual kursi!!” dengan suara bernada nyindir sambil ngeloyor (mungkin maksudnya kenyamananlah yang jadi daya jual Wale).
Sambil kami berlalu, gw menggumam:
“Lha, yang dimakan kan kerupuk, bukannya kursi...!!!” disambut suara tawa kami yang makin keras ha ha ha...

Mobil meluncur ke bawah meninggalkan Wale. Gw iseng meminjam struk pembayaran tadi. Dan gw teliti satu per satu.
“Ooiiiii!!! kok yang dibayar cuma 1 porsi nasi+semur lidah sapi, 1 yamien+bakso, dan 1 yahun +bakso? Yang 2 porsi ga kebayar dong??” sahut gw.
“Masa sih?” tanya Viona.
"Beneran neh?" Syani ikut penasaran.
“Iya, coba lihat dech! 1 porsi yamien dan 1 porsi yahun ga ada di struk ini” kata gw sambil nyodorin kertas struk pembayaran ke arah Syani yang duduk di jok depan.
“Sebenernya tadi gw udah tau, dan mau bayar kekurangannya, tapi gw dongkol denger omongan songong si waiter. Makanya gw ga jadi ngomong ha ha ha...” kata Alvin tertawa puas.
“Coba kalo dia ngomongnya sopan, pasti gw bayar tuh kekurangan Rp 34.000,-.” Sambung Alvin.
Sepanjang jalan, gw dan teman-teman becanda niru-niru ekpsresi kaget Si Alvin dan omongan si waiter songong sambil ketawa-ketawa...
Ga seberapa sih, hanya Rp 34.000,- (2 X @17.000,-), tapi Alvin terlanjur kesal dan merasa dipermalukan, makanya dia jadi ga niat bayar. Boro-boro bayar, balik lagi ke Wale juga, dia udah ogah!!! Kapok pok pok pok...

Turun dari Bukit dago, karena perut belom full tank, wisata kuliner berlanjut di kedai tukang jagung bakar di depan Toko Kalam Hidup, ga jauh dari Dago Plaza. Tujuan kami adalah menjajal makan Corn Pie, atas rekomendasi Gunadi. Yang disebut Corn Pie, ternyata bentuknya seperti lumpia goreng berisi jagung manis yang diracik dengan bumbu. Murah, enak, dan layak dicoba!!! Satu-satunya yang jualan Corn Pie cuma di kedai jagung bakar depan Toko Kalam Hidup lho. 3 Corn Pie, 2 jagung bakar manis pedas, 1 porsi colenak, dan 2 roti bakar, lenyap dalam sekejap mata. Kami dilayani oleh perempuan sederhana dengan senyum dan keramahannya. Makanan di pinggir jalan pun bisa memberi kepuasan, bila disajikan dengan tulus hati.

Dalam satu minggu itu, 2 kali gw dan teman-teman punya ‘utang dadakan’ gara-gara kurang bayar. Bukan karena sengaja atau khilaf lho.Yang perkedel ada niat untuk dibayar, sementara yang di Wale? Entahlah he he he... (itu urusan si Alvin, coz makanan gw mah udah gw bayar sama Syani he he he...). Yang jelas DARMAJI bukan gw banget dech wkwkwkwk...

Conclusions:
Kata-kata yang halus dan santun, efeknya sangat besar. Apalagi buat yang bergerak di dunia bisnis kuliner.