Minggu, 20 Februari 2011

Kemeriahan Cap Go Meh Di Bandung

Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien, yang secara harfiah berarti hari ke 15 bulan pertama. 15 hari setelah perayaan Tahun Baru Imlek. Cap Go Meh merupakan puncak acara dari rangkaian perayaan Tahun Baru imlek. Cap Go Meh kali ini jatuh pada tanggal 17 Februari 2011. Tapi di Bandung, acara kirabnya dilaksanakan tanggal 19 Februari 2011.

Perayaan Cap Go Meh di Bandung tahun ini, terasa lebih istimewa. Coz baru dirayakan secara besar-bearan lagi setelah 52 tahun diam terbungkam oleh rezim orde lama dan orde baru. Dulu segala kebudayaan yang berbau Chinese dilarang oleh pemerintah, termasuk barongsai dan segala tetek bengeknya. Bahkan menurut sejarah, penganut Kong Hu Cu terpaksa harus mengubah nama tempat ibadahnya dari Kelenteng menjadi Vihara (yang merupakan tempat ibadah Umat Budha), karena pada saat itu yang dianggap agama resmi oleh pemerintah hanya 5 agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha). Sementara Agama Budha dan Kong Hu Cu beda banget, baik dari asal usul maupun tata cara peribadatannya. Gw membayangkan betapa tertekannya Umat Kong Hu Cu saat itu.

Gw yang sebelumnya ga pernah mengalami kemeriahan Cap Go Meh, tadi sore hingga malam menjelang, gw larut dalam kemeriahan Cap Go meh. Dentuman suara beduk dengan gemerincing cymbal, canang, gong dan alat musik perkusi lainnya, menyuguhkan aneka irama ritmis yang khas.

Cap Go Meh kali dimeriahkan dengan acara kirab 20 naga (liong),72 barongsai, dan diaraknya puluhan patung dewa-dewi di dalam tandu (Tapekong). Peserta kirab berasal dari berbagai kota di Pulau Jawa seperti; Bandung, Jakarta, Sukabumi, Garut, Bogor, Cirebon, Gombong, Rembang dll.

Sore tadi gw berangkat menonton acara Kirab Cap Go Meh dengan 3 teman gw; Ming Lie, Anton, dan Wingky (semuanya bukan binan he he he...). Untuk menghindari kemacetan, gw dan Anton memarkir sepeda motor kami di rumah Ming Lie. Karena lokasinya dekat, dari rumah Ming Lie kami cukup jalan kaki.

Jam 4 Sore kami sudah standby di Jl. Kebonjati menanti iring-iringan kirab. Masyarakat seperti tumpah ruah memenuhi seluruh ruas Jl. Kebonjati, penasaran ingin melihat secara langsung perayaan Cap Go Meh. 1,5 jam lebih kami harus berdiri dan sabar menunggu kemunculan arak-arakan sore itu. Penantian ribuan orang, akhirnya terbayar sudah.

Masyarakat memenuhi ruas jalan

Walikota Bandung, Dada Rosada tampak dalam rombongan kirab.

Kelompok yang kebagian membuka iring-ringan kirab, adalah kelompok-kelompok budaya Sunda. Ada kereta kuda berpenumpang penari Tari Merak, Reog, Sisingaan, Si Cepot dan si Dawala raksasa, dan cewek-cewek berkostum tarian tradisional lainnya.
Saking padatnya penonton, untuk mendapatkan objek foto, gw terpaksa (atau gara” niat banget? he he he...) naik ke atas mobil box orang lain yang lagi di parkir di pinggir jalan.
Cepot dan Dawala
Dan iring-iringan barongsai, tarian naga (liong), dan tapekong yang jumlahnya puluhan akhirnya menampakkan diri. Barongsai-barongsai yang lucu dan lincah serta naga-naga beraneka warna melintas meliuk-liuk seakan ga ada habis-habisnya. Begitu juga arak-arakan tapekong yang berisi patung dewa-dewi seperti; Dewa Bumi, Kwan Im, Kwan Kong dan puluhan patung dewa-dewi lainnya, terus menerus bermunculan.

Naga

Barongsai

Kepala naga

Naga dan Barongsai

Barongsai biru

Tapekong

Hari makin gelap, gw dan teman-teman memutuskan untuk pindah ke daerah Jl. Jend. Sudirman. Di Jl. Jend. Sudirman acara terasa lebih meriah, karena jalanan yang terang dan lebar itu ditutup secara total untuk kendaraan bermotor. Gw berada di Jl. Jend. Sudirman sampai iring-iringan habis. Even kaki terasa pegal, tapi gw dan teman-teman merasa puas.

Luarnya imut-imut, dalamnya keriput he he he...

Tapekong lagi

O ya satu hal yang menarik perhatian gw pemain barongsai & tarian naga beserta pemain-pemain musiknya ternyata tidak semuanya berasal dari etnis Tionghoa. Gw melihat banyak orang-orang pribumi, bahkan beberapa bule turut andil dalam acara ini. Mungkin ini pertanda kesadaran kita, bahwa pembauran itu indah.

Musisi beraksi

Dan tak lupa, tentu saja gaydar gw menangkap banyak signal binan-binan bertebaran di mana-mana dengan aneka bentuk ha ha ha... Salah satunya ada yang berdiri anggun dengan kacamata 'Ugly Betty', rambut gondrong pirang sebelah, tindikan dibawah bibir, plus tas cantik di tangan he he he... (lengkap banget ya penggambaran gw?). Btw, tapi dihadapan teman-teman gw, gw berpura-pura mencuri-curi memotret cewek-cewek cantik, padahal mah jauh lebih banyak cowok-cowok ganteng yang gw potret ha ha ha...

Pemain Barongsai berbody seksi

Hampir pukul 22.00 WIB, gw dan teman-teman beranjak menuju rumah Ming Lie untuk mengambil sepeda motor. Di rumah Ming Lie gw baru nyadar, kunci motor yang tadi gw masukin di saku jaket, tanpa sadar telah turut masuk di begasi motor gw.

Ming Lie mengantar gw pulang buat ngambil kunci cadangan, tapi berhubung lapar kami mampir makan dulu di Nasi Kuning Pasirkoja. Selagi makan, pikiran gw makin kalut coz gw baru ingat, kunci cadangan itu gw simpan di kamar, sementara kunci kamar gw itu terkunci, dan kuncinya satu untaian dengan kunci sepeda motor yang terjebak di dalam begasi sepeda motor gw. Wuiiihhh... mana hari udah semakin malam pula!!!.

Akhirnya gw putusin memutar balik, kembali ke rumah Ming Lie. Disana gw, mencoba jadi McGiver dadakan, dengan aneka peralatan seadanya gw berusaha membuka begasi, dan.... ga berhasil!!! he he he... setelah 15 menit berlalu, ‘tring!!! tring!!!’ gw dapat ide!!! Gw suruh Ming Lie menarik jok sepeda motor itu ke atas, sementara tangan gw merogoh jaket, dan BERHASIL!!! Secara perlahan tapi pasti jaket jeans itu bisa dikeluarkan. Akhirnya gw bisa balik. Gw tiba di rumah waktu jam dinding di ruang keluarga menunjukkan angka pukul 23.00.

Conclusions:
Demokrasi memberi ruang kepada semua orang untuk bebas berekspresi. Tapi landasilah kebebasan itu dengan niat yang murni, hati yang tulus, dan pikiran yang jernih. Perbedaan itu indah adanya; Pelangi tidak akan indah kalo hanya terdiri dari satu warna. Bunga di taman akan nampak monoton jika warnanya seragam.

Selasa, 01 Februari 2011

Tradisi Imlek Dan Kenangan Tentang Papa

Sin Cia atau Tahun Baru Imlek 2562 sebentar lagi tiba. Kata Imlek (Im=bulan, Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan (Lunar Newyear). Menurut sejarahnya, konon Sin Cia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru.
Perayaan ini juga berkaitan erat dengan pesta menyambut musim semi. Perayaan imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta/Thian (Thian=Tuhan dalam Bahasa Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.

Sin Cia seringkali mengingatkan gw kepada kenangan-kenangan gw waktu kecil. Terutama kenangan gw sama almarhum Papa, karena dialah yang memegang teguh tradisi imlek di keluarga gw.

Sehari sebelum Sin Cia, Papa selalu melakukan ritual sembahyang Imlek. Meja sembahyang dipenuhi oleh aneka makanan. Menurut tradisi, makanan itu ditujukan sebagai persembahan kepada leluhur.

Diatas meja persembahan selalu ada 2 lilin warna merah, dan mangkuk kecil diisi beras sebagai tempat untuk menancapkan hio (dupa). Dan berbagai jenis makanan, minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue-kue. O ya, jumlahnya yang 12 konon merupakan perlambang dari 12 lambang Shio. Setiap jenis makanan untuk persembahan, semuanya merupakan simbol dan mengandung arti tertentu.

Yang wajib ada diatas meja persembahan adalah
Samseng (artinya 3 macam daging kurban) terdiri dari 3 jenis hewan: ayam betina utuh yang diikat dan dibentuk tertentu, daging babi, dan ikan bandeng (semuanya hanya direbus). Samseng wajib ada sebagai simbol pengingat kepada manusia agar tidak meniru sifat-sifat buruk hewan tersebut:
Ayam melambangkan keserakahan (ayam kalo makan suka berpindah-pindah, sekalipun makanannya belom habis).
Babi melambangkan kemalasan (kerjaan babi cuma makan, tidur dan berkubang di lumpur).
Ikan bandeng melambangkan kelicikan (kulit ikan bandeng bersisik dan diumpamakan seperti ular yang merupakan lambang binatang licik/jahat). Tapi dalam referensi lain, Ikan bandeng dengan kilauan sisiknya, diartikan sebagai simbol kekayaan atau kemakmuran.

Berikut ini arti dari makanan lainnya yang wajib ada di meja persembahan beserta makna simboliknya:
-Kue keranjang; kue keranjang yang masih baru, biasanya teksturnya masih lengket. Itu menyimbolkan harapan agar keluarga selalu hidup rukun (lengket/erat satu sama lain). Kue keranjang disusun bertingkat-tingkat keatas, mulai dari yang besar hingga yang terkecil dan di puncaknya diletakan kue mangkok merah. Penyusunan kue keranjang ini melambangkan kehidupan manis yang kian menanjak dan merekah (seperti kue mangkok).
-Jenis buah-buahan yang wajib ada adalah seperti jeruk berkulit kuning (misalnya jeruk lokan atau ponkan) yang melambangkan kegembiraan. Akan lebih bagus yang masih ada daunnya, karena melambangkan kemakmuran yang akan tumbuh terus. Kemudian pisang raja atau pisang mas yang melambangkan mas atau kemakmuran. Dan ditambah aneka buah-buahan lainnya, tapi tidak boleh ada buah yang berduri seperti salak dan durian (kecuali nanas karena nanas melambangkan mahkota raja).
-Aneka kue dan manisan: agar di tahun yang baru hidup kita dipenuhi hal-hal yang manis dan membahagiakan.
-Kue lapis legit: sebagai perlambang datangnya rezeki yang berlapis-lapis dan saling tumpang tindih di tahun yang akan datang.
-Mie Goreng/kuah, bentuknya yang panjang melambangkan harapan supaya seluruh anggota keluarga berumur panjang.

Sedangkan hidangan-hidangan dan aneka masakan lainnya (yang super banyak itu) hanya sebagai pelengkap saja.

Jadi kalo disimpulkan seluruh makanan itu merupakan harapan di tahun baru mendatang, agar kehidupan keluarga: panjang umur, hidup rukun, makmur, selalu bahagia/gembira dengan rezeki yang tak ada habis-habisnya.

O ya, ada makanan yang sebaiknya dihindari untuk dihidangkan waktu sembahyang Imlek. makanan yang pantang dihidangkan waktu sembahyang Imlek adalah bubur, karena bubur melambangkang kemiskinan atau kesusahan... (siap-siap kabuuuur!!!! takut didemo para tukang bubur jiakakakak....).

Papa memulai ritual dengan berdoa sambil memegang hio yang menyala dengan kedua tangannya lalu mengacung-ngacungkan hio itu beberapa kali. Lalu menancapkan hio yang menyala itu di mangkuk berisi beras dan sebagian lagi ditancapkan didekat pintu rumah. Secara bergiliran semua anggota keluarga melakukan hal yang sama, cuma jumlah hio-nya lebih sedikit dan setelah selesai, hio-nya hanya ditancapkan di mangkuk berisi beras. Setelah beberapa lama, Papa kemudian melemparkan 2 uang coin. Kalo waktu jatuh, coin itu dua-duanya bergambar sama, artinya sang leluhur belum selesai bersantap. Dibiarkan beberapa saat, dan ritual lempar coin itu dilakukan lagi, dan lagi sampai kedua coin itu jatuh dengan gambar yang berbeda, yang menandakan ritual persembahan sudah selesai.

Setelah semuanya ritual persembahan selesai, saatnya membakar kertas sembahyang, yang bergambar warna emas dan yang bergambar warna perak (yang dilipat dengan bentuk tertentu) dan bergepok-gepok uang-uangan (uang akhirat dengan nominal yang gedenya bujubune!!! Ada yang nominalnya 600 juta lho... wuiiiihhh....). Yang artinya kita mengirimkan harta benda (emas, perak, dan uang) kepada leluhur.

Kertas Sembahyang

Uang Kertas Untuk Sembahyang

Setelah serangkaian ritual itu selesai, barulah anggota keluarga boleh bersantap. Kalo ada yang makan duluan, dianggap tidak tau sopan-santun dan tata krama menghormati leluhur (kadang gw sih secara sembunyi-sembunyi makan juga he he he...).

Dan keesokan harinya, Tahun Baru Imlek yang kami nanti-nantikan itu pun tiba. Yang artinya; saatnya kami menerima angpao alias amplop merah (ang=merah, pao=amplop) berisi uang. Tapi sebelum menerima angpao, kami harus melakukan Kiong Hie, mengucapkan selamat tahun baru kepada orangtua. Caranya dengan menyatukan dan mengepalkan dua tangan lalu menggoyang-goyangkannya (seperti salam para pendekar di film kungfu he he he...) didepan muka kami sambil bilang “Kiong Hie!” dan dapatlah angpao-angpao itu sebagai salam tempel hihihi.... Kita bisa melakukan “Kiong Hie” kepada sodara-sodara yang lainnya (kakek, nenek, om, tante dll). Tapi yang berkewajiban memberi angpao hanyalah orang-orang yang sudah menikah. Menurut tradisi, orang yang belum menikah tidak boleh memberi angpao (untunglah gw belom nikah, jadi gw ga ada kewajiban ngasih angpao ha ha ha...).

Angpao

Setiap imlek seluruh anggota keluarga menggunakan baju warna merah, yang melambangkan kegembiraan dan sukacita. Kita ga boleh pake baju putih, coz bagi tradisi Chinese baju putih lambang dukacita, jadi biasanya baju putih dipakai saat ada anggota keluarga yang meninggal. So, jangan sekali-sekali melayat orang meninggal dari etnis Chinese pake baju merah atau ada unsur merahnya ya, tar bisa ditimpukin dech he he he...

Ritual sembahyang imlek itu dari tahun ke tahun terus Papa lakukan, even Mama dan kami anak-anaknya sudah tidak melakukannya lagi. coz mama, kakak perempuan, gw, dan adik perempuan gw, sudah menjadi Kristen, sedangkan kakak laki-laki memlilih menjadi muslim. Tapi kami tetap rukun dan saling mendukung bila hari besar keagamaan kami masing-masing tiba.

Tahun 2006 merupakan terakhir kalinya gw melihat Papa melakukan ritual sembahyang Imlek. Pada tanggal 20 februari 2007 Papa meninggal, kanker paru-paru telah menggerogoti kesehatannya. Beberapa bulan sebelum Papa meninggal, Papa bersedia dilayani dan didoakan oleh pendeta, kemudian memutuskan menjadi Kristen (padahal bertahun-tahun sebelumnya Papa susah sekali untuk diajak ke gereja oleh Mama maupun kami anak-anaknya). Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kami selalu menghormatinya... We Still Love You Papa....


Kue keranjang, kue lapis legit, baju merah, kiong hie dan angpao... akan selalu hidup dalam tradisi keluarga kami.

GONG XI FA CHAI...!!!

Conclusions:
Segala hal-hal yang baik, semoga bukan hadir hanya sebagai simbol saja. Tapi sudah seharusnya menjadi satu kesatuan dalam kata dan perbuatan.