Selasa, 25 Agustus 2009

Sesal Untuk Evan

Sudah lebih dari 10 tahun yang lalu gw sangat dekat dengan dunia anak muda. Gw sendiri ga ngerti, kenapa kok bisa-bisanya gw bergaul dan akrab dengan orang-orang yang umurnya jauh dari gw. Entah karena gw bisa menyelami dunia mereka, entah karena gw seorang pendengar yang baik atas curhat-curhat mereka, entah karena gw sosok kakak yang bijak, atau mungkin karena gw penggemar daun muda? qi qi qi…

Dari sekian memory diotak gw, malam ini gw jadi teringat salah satu sosok anak muda yang pernah dekat sama gw, sebut saja namanya Evan. Waktu itu umurnya belum genap 17 tahun. Kedekatan gw dan Evan dalam arti hanya sebatas pertemanan, ga lebih. Dia ga pernah tau kl gw gay, dan gw juga ga pernah membahas hal itu dengan dia.

Evan adalah sosok anak yang sederhana, cerdas, tampan, pendiam, sopan dan sensitif. Dia sering cerita sama gw tentang pergumulan hidupnya. Juga tentang perasaannya menjadi orang yang terbuang dan tertolak, karena sejak bayi Evan sudah diadopsi oleh tantenya. Secara materi dia ga kekurangan, tapi hatinya hampa. Evan sangat kesepian, dia merindukan perhatian dan kehangatan keluarga.

Diantara teman-teman sebayanya yang sering berkumpul di rumah gw, dialah anak yang paling pendiam. Kalo teman-temannya asyik bercanda, paling dia hanya tersenyum simpul. Atau malah menyendiri di sudut ruangan.
Karena sikapnya yang terlalu tenang dan datar, terkadang gw jenuh menghadapinya. Bahkan beberapa kali gw menghindari kedatangannya. Mungkin gw bosan dengan keluh-kesahnya yang hanya berkutat di masalah itu-itu saja.

Dia sering bolos dari sekolahnya hanya untuk menemui gw, untuk menumpahkan kesedihannya, atau hanya sekedar meluapkan tangis di dada gw.

Gw sebenernya sayang sama dia, dan menganggapnya sebagai adik. Tapi gw lebih menyukai hubungan pertemanan yang fun, penuh canda tawa. Bukan hubungan yang diliputi kesenduan dan kesedihan.
Dia sering menginap di rumah gw, bahkan bisa berhari-hari. Mungkin itu yang membuat gw mati rasa, dan ga peka lagi akan kehadiran dan kebutuhan dia.

Kadang kalo gw lagi bad mood, gw bersembunyi menghindari kedatangannya.
Singkat cerita, sepeninggal papa angkatnya, keluarga angkatnya mengalami kemunduran secara financial dan jatuh pailit. Hal ini menyebabkan mereka terusir dari tempat tinggalnya. Mereka harus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan yang ke rumah kontrakan yang lainnya. Keadaan ekonomi yang morat-marit, pada akhirnya memaksa keluarganya untuk pindah ke luar kota.

Walau dia sudah pindah ke luar kota, tapi sesekali dia masih datang menemui gw. Makin lama makin jarang, dan pada akhirnya dia ga pernah datang lagi sama sekali. Pada waktu itu, gw ngerasa terbebas dari rongrongan cerita sedihnya, dan dari celotehan tentang beban hidupnya. Anehnya, gw ga merasa kehilangan, dan dalam waktu singkat gw lupa sama dia.

Lima tahun kemudian gw mendapat kabar, kalo Evan mengalami depresi berat. Awalnya dia hanya sering diam dan menyendiri di tempat gelap. Kemudian dia suka mengamuk dan tak terkendali, dengan tindakan-tindakan yang membahayakan. Hal itu menyebabkan dia harus dimasukkan ke salah satu rumah sakit jiwa di Bandung.

Waktu gw menengoknya, dia sudah ga mengenali gw. Gw sendiri hampir-hampir ga mengenalinya lagi. Karena dia sudah sangat berbeda. Badannya kurus dan dipenuhi bekas luka. Sorot matanya kosong seperti ga ada kehidupan. Evan ga pernah menjawab waktu gw tegur, dia hanya asyik dengan dunianya. O my God!! Kenapa ini bisa terjadi?

Seandainya gw selalu ada di sampingnya, seandainya dulu gw peka akan kebutuhan jiwanya, seandainya dulu gw mau mendengar setiap keluh-kesahnya, seandainya dulu gw ga menghindarinya, seandainya waktu bisa diputar kembali dan sejuta seandainya-seandainya yang lain. Gw terpuruk dalam rasa sesal yang dalam, tapi ini ga mengubah keadaan. Evan tetap berkutat dalam depresi beratnya, dan sekarang mendapat stempel sebagai orang “gila”.

Ga terasa, sudah 5 tahun Evan menghuni rumah sakit jiwa, tanpa ada perkembangan yang berarti. Setelah gw amati, rupanya dalam silsilah keluarganya, ada beberapa yang mengalami depresi berat seperti Evan. Mungkin semacam penyakit keturunan. Karena 2 orang pamannya mengalami gangguan mental, 3 saudara sepupunya gila, dan 2 dari saudara kandungnya pun mengalami hal yang sama. Mungkin itulah yang menjadikan mental Evan rapuh dalam menghadapi tekanan hidup. Satu-satunya harapan gw, adalah hanya menunggu keajaiban Tangan Tuhan. Hanya Dia yang sanggup memulihkannya. Mengembalikan Evan kembali seperti yang dulu. Evan yang sederhana, cerdas, tampan, pendiam, sopan dan sensitif…

Conclusions:
Evan, bagaimanapun keadaan diri kamu… semua teman-temanmu masih menyayangi kamu. Kamu berharga dimata Tuhan…

5 komentar:

  1. kang turut prihatin ya..terharu bgt bacanya..

    kadang kita berharap dapat memutar waktu dan kembali ke masa lalu..untuk memperbaiki keadaan yang sekarang terjadi..untuk selalu berada dekat dengan orang orang yang kita sayangi..

    but..that's life..membuat kita semakin kuat melalui apa yang kita alami..

    BalasHapus
  2. Ga usah menyalahkan diri sendiri, everything's happen for a reason. Mungkin emang sudah garis hidupnya seperti itu, sekarang dia butuh banyak perhatian lebih dari yang pernah dia minta ke kamu Bro. Berikan semaksimal yang kamu bisa, and just believe he'll be better. Amen.

    BalasHapus
  3. duh turut prihatin kadang memang kita gak tahu apa yg akan terjadi, kelainan spt itu runs in the family jadi ya selama belum ada triggernya ya kita gak tahu kalo gak kenal sejarah keluarganya

    BalasHapus
  4. Farrel, siapa tahu dengan kondisinya sekarang dia justru lepas dari kesedihan yang menderanya, dia tidak lagi merasakan tekanan mental yang membuatnya depresi. Mungkin dia tampak menyedihkan dimata kita, tp siapa tahu justru itu yang terbaik baginya.
    Life is full of mystery......

    BalasHapus
  5. Hmm, ku pernah masuk tahap itu, pertamanya memendam perasaan, lalu menyendiri dari keramaian, sampai menghindari cahaya matahari... tapi beruntung ada adik ma mama yang jadi pemicu buat keluar dari dunia sendiri. Tergantung orangnya sendiriku rasa... karena dalam keluargaku jg ada yang gila.

    Penyesalan selalu datang terlambat sih memang... tapi pengalaman adalah guru yang terbaik.

    BalasHapus