Selasa, 27 April 2010

My First Love

Pagi tadi gw terbangun, di luar sana terdengar sayup-sayup lagu First Love –Nikka Costa. lagu lawas yang masih enak untuk didengar... Lamunan gw menerawang jauh, menyusuri lorong waktu, mengarungi kenangan masa silam.

FIRST LOVE
Song by Nikka Costa

Everyone can see
There's a change in me
They all say I'm not the same
Kid I use to be

Don't go out and play
I just dream all day
They don't know what's wrong with me
And I'm too shy to say

It's my first love
What I'm dreaming on
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow
Don't know what to do

My first love
He thinks that I'm too young
He doesn't even know
Wish that I could tell him what I'm feeling
'cause I'm feeling my first love

Mirror on the wall
Does he care at all
Does he ever notice me
Does he ever found

Tell me teddy bear
My love is so unfair
Will I ever found away
An answer to my pray
For my first love...


Lagu Nikka Costa ini, bener-bener ngegambarin perasaan remaja yang baru ngerasain artinya jatuh cinta. Tiap orang pasti pernah mengalami yang namanya cinta pertama alias cinta monyet. Tapi yang gw rasakan mungkin bukan cinta tapi hanya sekedar rasa suka. Atau mungkin lebih tepatnya gw ingin punya seseorang yang spesial, sama kaya temen-temen sebaya gw yang rata-rata sudah punya pacar.
Sebut saja namanya Lidya, seorang gadis remaja yang cantik, berhidung mancung dan bermata indah. Umurnya 2 tahun dibawah gw dan dia adik dari sahabat gw sendiri Marlon. Waktu itu gw baru mengjinjak kelas 2 SMA, dan dia Kelas 3 SMP. Gaya pacaran kami cukup unik, karena kami lebih saling mendukung dalam pendidikan. Ajaibnya ranking gw dan Lidya selalu sama. Mulai dari kisaran 5 besar, sampai masuk ranking 3 besar kami selalu sama.
Gw termasuk remaja yang alim dan taat beragama. Jadi walaupun pacaran, gw dan Lidya ga pernah melampaui batas. Paling banter, hanya berpegangan tangan. Itu pun sambil malu-malu kucing. Entah karena malu atau karena ga doyan he he he...
Waktu itu gw sering ngerasain pacaran dengan Lidya itu jadi beban buat gw. Seolah-olah gw harus melakukan kewajiban yang sebenernya gw sendiri ga suka. Apel malam minggu, antar jemput, nemenin dia belajar, jalan-jalan dll. gw lebih suka main dengan teman-teman cowok. Malah gw sering memprioritaskan sahabat-sahabat gw daripada Lidya. Ujung-ujungnya Lidya ngambek, ngerasa dicuekin.
Tapi hubungan kami yang bahasa sundanya: ‘awet rajet’ (awet tapi belangsak he he he...) berjalan sampai 4 tahun. Hubungan kami diakhiri dengan perpisahan secara baik-baik dan kami tetap bersahabat. Jujur, waktu itu gw masih sayang sama Lidya.
Setelah hampir 1 tahun gw dan Lidya sama-sama menjomblo, lalu gw dan Lidya, masing-masing punya pacar lagi. Gw dengan Andrea, mantan murid sekolah minggu gw. Dan Lidya dengan Handoko, masih teman gw juga.
Tapi Andrea terlalu possessive, gw ga nyaman jalan sama dia. Dia ga terima kalo gw lebih ngutamain sahabat-sahabat gw (ya iya lah... he he he...). Dan dia sering cemburu melihat gw dan Lidya masih bersahabat. Hubungan gw dan Andrea hanya bertahan kurang dari 1 tahun, lalu gw memutuskan hubungan dengan dia.
Perjalanan percintaan gw dengan lawan jenis yang berikutnya ga pernah lebih dari 6 bulan. Jadian-bubar... jadian-bubar... jadian-bubar... gw kesannya seperti playboy cap jenggot kambing he he he... padahal sebenernya gw sedang dalam pencarian ‘cinta sejati’ gw, yang akhirnya gw sadari ga akan pernah gw temukan dalam sosok perempuan. Tapi gw keukeuh ‘denial’, gw mencari dan terus mencari. Sampai akhirnya gw lelah dan menyerah.
Dari sekian perempuan yang pernah mengisi hati gw, hanya Lidya yang meninggalkan kesan terdalam. Terlalu indah untuk dilupakan, tapi terlalu pedih untuk dikenang...
Selepas kuliah gw bekerja di salah satu bank swasta. Gw masih inget betul, waktu itu tanggal 17 September, jarum jam belum beranjak ke angka 9. Ada telpon buat gw yang ngabarin tentang sebuah kejadian tragis. Lidya dan Ibunya ditemukan terbunuh di rumahnya, dengan luka tusukan di sekujur tubuhnya. Mereka memang hidup berdua, setelah Marlon memutuskan menetap di Bali untuk belajar melukis, dan Marco adik Lidya tinggal dengan istrinya. Ayah Lidya memang sudah lama ga pernah pulang, dia lebih suka tinggal dengan isteri mudanya.
Pembunuh Lidya dan ibunya ternyata adalah tetangganya sendiri. Dia bermaksud mencuri dengan membobol atap rumah, tapi sialnya dia ketahuan. Entah karena panik, takut atau malu, dia nekat menghabisi 2 nyawa itu sekaligus.
Kejadian itu sangat membekas dihati gw. Masih tergambar jelas di benak gw, jasad Lidya dan ibunya terbujur kaku di dalam 2 peti jenazah di rumah duka. Tangisan pilu keluarga, kerabat dan sahabat mengiringi pemakaman Lidya dan ibunya. Mereka dikuburkan secara berdampingan.
3 tahun setelah kematiannya, Lidya sering menghampiri gw dalam mimpi-mimpi gw. hadir tidak dalam sosok yang menakutkan. Dalam mimpi-mimpi itu, Gw dan Lidya hanya ngobrol biasa... atau kadang dia cuma melintas di depan gw. Gw termasuk orang yang jarang bermimpi saat tidur. Tapi seminggu itu, dia hadir hampir setiap malam. Gw merasa ada sesuatu yang janggal, Lidya seolah sedang mengirimkan pesan khusus buat gw. Gw tersentak, gw baru sadar, hari itu tanggal 17 Maret, hari ulang tahunnya Lidya. Pagi itu gw bergegas pergi ke makam Lidya. Di jalan gw bertemu dengan Gunawan, sahabat gw dan Lidya yang mau berkunjung ke rumah gw.
“Farrel, mau kemana?” tanyanya.
“Mau ke makam Lidya” jawab gw.
“Lho kok aneh ya?, gw sekarang justru mau ngajak loe ke sana”. Katanya keheranan.
“Seminggu ini gw mimpi tentang Lidya terus...” sahut gw singkat.
“Oooohh... kok sama...” Gunanwan menggumam.
Gw dan Gunawan bergegas ke makam Lidya. Disana gw mendapati kuburan Lidya yang indah itu, tidak terawat. Dipenuhi rumput liar dan dedaunan kering. Gw dan Gunawan tanpa banyak bicara membersihkan kedua makam ibu dan anak itu. Ah... menyedihkan sekali... Lidya, i still care about you...
Sejak kepergian Lidya sampai sekarang, gw ga pernah berpacaran lagi dengan seorang perempuan. Dan sampai umur segini gw belum menikah juga. Orang-orang berpendapat kalo gw patah hati, karena cinta sejati gw dibawa mati. Tapi bukan itu penyebab yang sebenarnya... Karena setelah dari makam Lidya, gw memutuskan untuk menjadi diri sendiri. Membuka lembaran baru kehidupan percintaan gw. Dan menerima dengan ikhlas sisi ke-gay-an gw. My first love, but not my true love...


Conclusions:
Makna hidup dan penemuan jati diri, seringkali harus kita raih setelah mengarungi samudera problema. Riak... gelombang... bahkan badai... semakin menempa ketangguhan kita.