Jumat, 10 Juli 2009

Antara Religi Dan Realita

Sebelum gw mantap memasuki pintu gerbang dunia gay, gw adalah seorang yang lumayan religius. Gw sangat mengenal baik seluk beluk tentang agama yang gw anut sampai titik yang terdalam. Gw juga sangat faham hukum-hukum agama, dan tata cara ibadah yang baik. Ratusan buku tentang agama telah gw lalap, puluhan seminar keagamaan telah gw ikuti. Beberapa jabatan telah gw lakoni. Di tempat gw beribadah, gw termasuk dihormati karena gw adalah seorang aktivis dengan jam terbang gw cukup tinggi.

Namun tepatnya lebih dari 8 tahun yang lalu, sejak gw mengenal dunia gay, secara perlahan namun pasti gw mengalami degradasi keimanan. Aktivitas ibadah keagamaan gw makin menurun dan pada akhirnya berhenti sama sekali. Gw memutuskan buat cuti sementara he he he… Secara iman, gw sangat percaya keberadaan dan kekuasaan Tuhan, tapi disisi lain gw juga ga berdaya menahan gejolak hasrat ke-gay-an gw.

Gw selalu dihantui rasa bersalah setiap gw selesai memuaskan hasrat seks gw. Di satu sisi gw dituntut untuk hidup suci, tapi di sisi lain gw masih berkubang dalam lumpur dosa. Gw ga punya kuasa untuk lari dari kenyataan kalo gw seorang gay.

Dalam agama, kita hanya mengenal kata: Benar dan salah, pahala dan dosa, surga dan neraka, rewards and punishment. Agama juga hanya mengenal area hitam dan putih, ga ada yang namanya area abu-abu. Karena dosa dan kesucian tidak bisa berpadu, gelap dan terang ga mungkin menyatu. Kita ga bisa memilih hidup dalam dunia remang-remang… emangngya di tempat dugem? he he he….

Setahu gw, agama manapun menganggap homoseksual adalah dosa besar. Bahkan menurut agama yang gw anut, seorang pemburit (gay), tidak akan pernah bisa masuk kedalam kerajaan surga.

Antara religi dan homoseksual ga akan pernah ketemu ujungnya. Terdapat dinding tebal yang memisahkan keduanya. Ada jurang yang sangat dalam yang memisahkannya. Keduanya ga mungkin menyatu. Seperti air dan minyak, sampai lebaran simpanse pun tetap ga mungkin bisa disatukan he he he… Di luar negeri nun jauh di sana, ada orang-orang yang berusaha mencari pembenaran sendiri, dengan mendirikan tempat ibadah yang merestui kehidupan gay. Dan melegalkan perkawinan cinta sejenis. Tapi menurut gw, itu adalah perbuatan yang sia-sia. Untuk apa pembenaran dari manusia? Karena kebenaran yang sejati hanya milik Tuhan.

Pada satu titik. akhirnya gw mengambil keputusan untuk berhenti dulu dari aktivitas keagamaan. Gw ga mau terkekang menjadi seorang yang munafik. Gw merasa ga mungkin bisa menjalani kehidupan keduanya secara bersamaan. Dosa dan pahala ga diatur oleh hukum timbang menimbang (apalagi timbangan jengkol he he he…), dimana yang lebih berat itulah yang menjadi hasil akhir. Seperti peribahasa mengatakan: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitu juga, segala usaha kita dalam rangka memperoleh pahala lewat ibadah, akan ternoda dan hancur oleh ‘nila setitik’ dosa homoseksual kita.

Setelah gw menghentikan aktivitas religi gw. Gw merasa menjadi orang yang baru. It’s the real me. Sekarang gw bener-bener merasa bebas dari belenggu rasa bersalah menjadi seorang gay.
Gw mengambil keputusan ini, bukan dengan maksud untuk euforia, berbuat semau gw menentang hukum Tuhan. Untuk sekarang ini gw hanya ingin menjalani kehidupan gay gw dengan tenang, tanpa rasa bersalah, tanpa dikejar-kejar rasa berdosa.

Gw yakin, suatu saat gw pasti menemukan titik jenuh. Dan disitulah saatnya gw untuk bertobat dan fokus untuk menebus dosa-dosa yang telah gw perbuat. Kemantapan dalam mengambil keputusan untuk bertobat harus bener-bener bulat. Kalo nanti Tuhan memberi gw kesempatan untuk bertobat. Gw pengen tobat yang bener-bener tobat, yang ga akan menengok kembali kearah belakang, tapi mantap menatap masa depan. Sekali lagi, TOBAT bukan TOMAT (tomat = tobat… kumat… tobat… kumat… tobat… kumat he he he…).

Hari minggu, 5 Juli 2009 kemaren. Gw nengok ibu teman gw, yang sedang dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Bandung. Dia baru menjalani operasi pengangkatan batu empedu. Gw melihat ibu teman gw masih terkulai lemah dan kesadarannya belum bener-bener penuh, dia masih dalam pengaruh obat bius. Selain gw dan temen gw, disitu juga ada kakak temen gw.
“Ma, ini ada yang datang”. Kata temen gw ke ibunya.
“Tante, gimana? Udah baikan?”. Tanya gw.
Dia hanya tersenyum lemah, sambil menahan rasa sakit. Gw menyalami tangannya.
“Ma, tau ini siapa?”. Sahut temen gw, sambil menunjuk kearah gw.
“Farrel…”. Jawabnya, setelah berpikir beberapa saat.
Suasana hening... tanpa kata, tanpa suara.
“Farrel, tolong doain mama gw ya…” pinta temen gw.

Gw tersentak dalam hati, aduh!!! gw kan sudah lama ga pernah berdoa!!!… sudah lama gw ga pernah menghadap Tuhan. Gimana nih?... perasaan gw berkecamuk. Gw dikasih kehormatan untuk memimpin doa, tapi gw merasa ga enak hati melakukannya. Mungkin temen gw menyangka kalo gw masih sereligius kaya dulu. Tapi ah sudahlah…

Kata demi kata meluncur dari mulut gw, berbait-bait doa termohonkan. Ah…ternyata gw masih lancar dan fasih memanjatkan kalimat-kalimat doa… Setelah doa usai, gw melihat binar rasa terimakasih dari sorot mata temen gw dan kakaknya.
Lagi-lagi… gw kembali merasa jadi orang munafik…

Conclusions:
Doa yang tulus, sekalipun keluar dari mulut orang yang kotor. Gw sangat yakin, Tuhan pasti masih mau mendengarnya…

7 komentar:

  1. Aminnn...aq juga yakin setiap orng punya sisi berbeda dalam kehidupannya...yang jadi soal cuman gimana cara kita menyikapinya...hidup harus lach di jalanin bukan di tentang...ikuti apa yg tuhan kehendaki..dan berjalan lach sesuai jalan yg ada di depan kita...cozz kebahagiaan datang dari tuhan dan hati kita sendiri...so jangan takut mengambil keputusan.... :)

    BalasHapus
  2. Farrellll~ *manja
    Err.. i've thought about this. And, at the end, i picked a solution: I-Will-Not-Lead-A-Polygamous-Life. :D
    Kan yang dihukum pemburit, Farrel? I mean, here: Pemburit= Top :D (As burit is bottom. :)) Hahaha). :p *Kidding. Maksud saya, bukankah dengan tetap menjaga agar titit tidak ke mana-mana kecuali untuk pasangan menikah, kamu akan tetap bisa menjaga religiositas kamu?
    But, well, again, i'm uncertain (i never am).
    Masalahnya, saya sering nakal membuat pakem-pakem moralitas sendiri. Mungkin saya memang seorang sekularis.

    -Setelah dibaca-baca lagi, kesannya saya ngalur-ngidul sekali, ya? - -" -

    But, still, at the end, it's all about idea. Ideology.
    Whether you are a liberalist (yang mengusahakan kebahagiaannya sendiri); or a collectivist (yang mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan umum. Karena, baginya, saat orang lain berkata ia bahagia, itulah kebahagiaannya.)

    Tapi, jika pun kamu sudah punya rencana sendiri, yo suwih.. Kita wis tukeran wejangan ae. Yang njalani toh sendewe.

    BalasHapus
  3. Bukan berarti munafik sih. Rasa-rasanya, banyak kok gay yang menjalani dualitas seperti ini. Dan menurutku, apakah jadi gay itu dosa atau nggak, hanya Tuhan yang tahu. Kalaupun itu dosa, perbuatan baik yang lain.

    Mendoakan itu juga perbuatan baik, karena udah membahagiakan orang lain......

    Hahahaha, kok jadi kaya khotbah gini yah????

    BalasHapus
  4. entah kenapa... makin ke sini, dunia sudah sedikit nggak tabu lagi sama dunia gay. mereka mengakui adanya kaum gay and lesbian, (even though kaum gay lebih banyak daripada lesbian)

    ade kelas saya, teman teman saya bercerita kepada saya... "Lih, gw pengen u jadi lebih dari kaka gw," dan mereka smua cowo.. entah kenapa mreka mau terbuka sama saya... Apa mreka ga takut saya jauhin...



    setlah saya mngenal dunia ini,,, kawan kawan saya bahkan diri saya mungkin bisa dibilang munafik. Yang saya inginkan dari dunia gay ini adalah sex dan perasaan diakui oleh pasangan kita, karena psangan kita yang mengerti kita...

    Mangkanya banyak orang yang rela ngelakuin hal gila saat pasangannya beralih,,,

    mungkin ini pikiran dangkal seorang anak 17 taun yang masih mencari jati diri.. mohon maaf..

    BalasHapus
  5. @laroekoe: hmmmmhhh... gw suka kejujurannya
    @johan tampubolon: you're smart guy, gw suka pola pikir kamu.
    @Zhou yu: thx pendapatnya, gw setujuuuuu...
    @prince platine: gw suka pendapat kamu yang apa adanya.

    BalasHapus
  6. gw juga mengalami apa yg lo alami
    gak tahu sampe sekarang sih masih perang batin krn gw sendiri merasa buat apa gw ibadah di gereja toh gak ada hasilny

    BalasHapus
  7. kang..touchy bgt..
    jadi ngingetin aku sama my mom yang udah passed away setelah operasi ngangkat batu empedu..biarpun udh lama tp kalo inget jadi pengen nangis..hiks..
    apalagi sekarang, udah jarang solat, jarang berdoa, jarang ngedoain my mom..buat aku semakin merasa bersalah dan sedih..karena i always feel that she keeps wathing me..hiks..

    anyway..being gay bukan berarti ngejauhin agama..
    buat aku, agama itu pengendali, supaya ga jadi gay yang bejat hehehe..

    BalasHapus